Muslimah Yang Jelita …

Bukan dilihat dari kecantikan parasnya…
Tetapi dari kecantikan hati yang ada dibaliknya…

Muslimah Yang Cantik …

Bukan dilihat dari bentuk tubuh yang mempesona…
Tetapi dari sejauh mana dia berhasil menutup tubuhnya…

Muslimah Yang Baik …
Bukan dilihat dari begitu banyaknya dia melakukan kebaikan…
Tetapi dari keikhlasannya memberikan kebaikan itu…

Muslimah Yang Merdu …
Bukan dilihat dari seberapa indah lantunan suaranya…
Tetapi dari apa yang sering mulutnya bicarakan…

Muslimah Yang Cerdas …

Bukan dilihat dari keahliannya berbicara…
Tetapi dari bagaimana caranya berbicara….

Muslimah Yang Santun …

Bukan dilihat dari keberaniannya berpakaian…
Tetapi dari sejauh mana dia mempertahankan kehormatannya…

Muslimah Yang Berani …
Bukan dilihat dari kekhawatirannya digoda orang dijalan…
Tetapi dari kekhawatiran dirinya yang membuat orang tergoda…

Muslimah Yang Tabah …
Bukan dilihat dari seberapa banyak dan besar ujian yang dijalani…
Tetapi dari sejauh mana dia menghadapi ujian dengan kesabaran…

Muslimah Yang Gaul …

Bukan dilihat dari sifat supelnya bergaul…
Tetapi dari sejauh mana dia menjaga kehormatannya dalam bergaul…

Sumber: http://danbila.com/dunia-muslimah/muslimah-sejati

1. Kebahagiaan dan kesenangan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).

Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki.

Sebagaimana orang yang berpaling dari petunjuk Allah dan tidak mengisi hidupnya dengan beribadah kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan menjadikan sengsara hidupnya di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124).

2- Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan yang dihadapi

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).

Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah yang wajib dan sunnah (anjuran), serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala.

Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4). Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).

3- Penjagaan dan taufik dari Allah Ta’ala

Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Abbas

((احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك))

Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“.

Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.

Keutamaan yang agung ini hanyalah Allah Ta’ala peruntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan predikat sebagai wali (kekasih) Allah Ta’ala, yang itu mereka dapatkan dengan selalu melaksanakan dan menyempurnakan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik ibadah yang wajib maupun sunnah (anjuran). Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (pemusuhan) terhadapanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai dari pada (ibadah) yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (ibadah-ibadah) yang sunnah (anjuran/tidak wajib) sehingga Akupun mencintainya…“.

4- Kemanisan dan kelezatan iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

((ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً))

Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“.

Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas, berkata, “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”.

Sifat inilah yang dimiliki oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}

Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).

5- Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan agama Allah

Allah Ta’ala berfirman,

{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim:27).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah berkata, “Adapun dalam kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (2/700)..

Fungsi ibadah dalam meneguhkan keimanan sangat jelas sekali, karena seorang muslim yang merasakan kemanisan dan kenikmatan iman dengan ketekunannya beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka setelah itu – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dia tidak akan mau berpaling dari keimanan tersebut meskipun dia harus menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan dalam mempertahankannya, bahkan semua cobaan tersebut menjadi ringan baginya.

Gambaran inilah yang terjadi pada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keteguhan mereka sewaktu mempertahankan keimanan mereka menghadapi permusuhan dan penindasan dari orang-orang kafir Quraisy, di masa awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara Abu Sufyan dan raja Romawi Hiraql, yang kisah ini dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan waktu itu, “Apakah ada di antara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang murtad (meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya?” Maka Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada“. Kemudian Hiraql berkata, “Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia(HSR al-Bukhari No.7)

Setiap kita mempunyai kesalahan dan kekurangan. Manusia tidak bisa lari dengan menutup diri terhadap kekurangannya. Yang harus dilakukan adalah introspeksi dan menghisab diri sendiri untuk sebuah perbaikan.

Umar bin Khaththab rahdiyallahu ‘anhu pernah berpesan, “Hisablah dirimu sebelum diri kamu sendiri dihisab, dan timbanglah amal perbuatanmu sebelum perbuatanmu ditimbang.”

Berikut ini beberapa hal yang dapat membantu seseorang untuk introspeksi diri dan memperbaiki berbagai kekurangannya:

  1. Mengakui kekurangan dirinya. Ibnu Hazm berkata, “Seandainya orang yang kurang itu mengetahui kekurangan dirinya, niscaya ia menjadi sempurna.” Beliau melanjutkan, “Manusia itu tidak luput dari kekurangan, dan orang yang berbahagia adalah orang yang sedikit aibnya.” (Al Akhlaq wa As Siyar)
  2. Menyadari kekurangan yang ada pada dirinya sebagai kekurangan. Ada beberapa orang yang mengetahui suatu kekurangan ada pada dirinya tapi dia tidak menganggap hal itu sebagai sebuah kekurangan. Pengetahuan terhadap kekurangan dirinya nyaris tidak mendatangkan manfaat apa-apa untuk perbaikan. Hal ini bisa disebabkan karena dia memandang dirinya dengan kacamata dirinya sendiri dan tidak memperhatikan kacamata orang lain dalam menilai dirinya. Disinilah perlunya kita membuka diri sendiri terhadap pandangan dan penilaian dari orang lain, terutama orang yang alim.
  3. Kita harus mengetahui dan mencari kekurangan diri kita. Sebab mengetahui penyakit itu dapat menolong seseorang untuk menentukan obatnya. Ibnu Al Muqaffa’ mengatakan, “Salah satu aib manusia terbesar ialah ia tidak mengetahui kekurangan dirinya. Karena orang yang tidak mengetahui aib dirinya, maka ia pun tidak mengetahui kebaikan orang selainnya. Barangsiapa yang tidak mengetahui aib dirinya dan kebaikan orang lain, maka ia tidak bisa menghilangkan aib yang dia sendiri tidak mengetahuinya dan tidak akan mendapatkan kebaikan-kebaikan orang lain yang tidak pernah ia lihat selamanya.” (Al Adab Ash Shaghir wa Al Adab Al Kabir). Mahmud Al Waraq mengatakan “Manusia yang paling sempurna ialah yang paling tahu kekurangan dirinya dan yang paling dapat mengalahkan syahwat dan keinginannya” (Aqwal Ma’tsurah wa Kalimat Jamilah, Dr Muhammad Ash Shabbagh)
  4. Tidak memandang orang lain dengan pandangan yang remeh sehingga dia bisa melihat kebaikan yang ada pada orang lain dan mendapat manfaat darinya.
  5. Tidak memandang diri sendiri dengan penuh kekaguman dan merasa dirinya yang paling baik. Rasa ujub ini seringkali disisipkan iblis ke dalam hati kita tanpa kita sadari sehingga akhirnya kita larut dan terbawa. Selain merupakan dosa, rasa ujub menghalangi seseorang untuk mencari kekurangan yang ada pada dirinya sendiri sehingga dia terhalang dari perbaikan dan terus berkubang pada kekurangan. Ibnu Hazm mengatakan, “Ketahuilah dengan penuh keyakinan bahwa manusia itu tidak bisa luput dari kekurangan, kecuali para nabi. Barangsiapa yang tidak mengetahui berbagai kekurangan dirinya, maka ia akan menjadi orang yang hina, lemah akal, dan sedikit pemahamannya, yang mana ia merasa bukan sebagai orang yang hina dan tidak merasa bahwa tempat berpijaknya adalah kehinaan. Karena itu, ia tidak sudi mencari kekurangan dirinya dan tidak sudi menyibukkan diri dengan hal itu bahkan dia merasa kagum dengan dirinya sendiri dan sibuk dengan aib orang lain yang tidak membahayakan dirinya baik di dunia maupun di akhirat.” (Al Akhlaq wa As Siyar)
  6. Senantiasa berusaha menghilangkan kekurangan-kekurangan itu. Tidak cukup sekedar mengetahui kekurangan-kekurangan diri, tetapi harus pula berusaha menghilangkannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya),Beruntunglah orang yang membersihkan diri.” (Qs. Al A’la: 14).

    Sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya.” (Qs. Asy Syams:9).

    Ibnu Hazm berkata, “Orang yang berakal adalah orang yanang dapat menentukan aib dirinya, lalu mengalahknya dan berusaha menundukkannya. Sedangkan orang yang dungu adalah orang yang tidak mengetahui aib dirinya, baik karena kurang pengetahuan dan akalnya serta lemah pikirannya maupun karena ia menilai bahwa aibnya tersebut adalah perangainya. Dan ini adalah aib terbesar di muka bumi ini.” (Al Akhlaq wa As Siyar)

  7. Berjanji kepada diri sendiri untuk menjadi baik terhadap dirinnya. Ibnu Muqaffa’ mengatakan, “Hendaklah kamu berjanji terhadap dirimu sendiri untuk menjadi baik, sehingga dengan hal itu ia akan menjadi ahli kebajikan. Sebab jika anda melakukan demikian, maka kebajikan akan datang mencarimu sebagaimana air mengalir mencari tempat yang curam.” (Al Adab Ash Shaghir wa Al Adab Al Kabir). Ibnu Hazm berkata, “Mengabaikan sesaat dapat merusak setahun” (Al Akhlaq wa As Siyar).
  8. Kita tidak boleh menjadikan keburukan kemarin sebagai pembenaran untuk mengerjakan keburukan hari ini dan tidak pula menjadikan keburukan seseorang sebagai pembenaran untuk kita berbuat keburukan. Ibnu Hazm mengatakan, “Saya tidak melihat iblis lebih bodoh, lebih buruk dan lebih dungu daripada dua kalimat yang dilontarkan oleh propagandisnya: Pertama, alasan orang yang berbuat keburukan bahwa si fulan juga telah mengerjakan keburukan itu sebelumnya; kedua, seseorang menganggap remeh keburukannya hari ini karena ia telah berbuat keburukan itu kemarin, atau ia melakukan keburukan dalam suatu hal karena ia telah berbuat keburukan dalam hal lainnya. Akhirnya kedua kalimat tersebut menjadi alasan yang memudahkan untuk berbuat keburukan dan mengkategorikan keburukan tersebut dalam batas yang diakui, dianggap baik, dan tidak diingkari.” (Al Akhlaq wa As Siyar)
  9. Menelaah sesuatu yang bermanfaat yang dapat membantu perbaikan diri terutama ilmu syar’i. Dengan ilmu syar’ilah seseorang dapat mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Dengan ilmu syar’i dia memiliki parameter yang tepat untuk menimbang segala sesuatu. Ini adalah poin yang sangat penting.

Maraji’:

  • Ma’al Mu’allimin, Muhammad bin Ibrahim Al Hamd, terj. Bersama Para Pendidik Muslim.
  • Al Ilmam fii Asbaabi Dha’fi Al Iltizaam, Husain Muhammad Syamir, terj. 31 Sebab Lemahnya Iman.